Hanya ada satu di Solo : Pasoepati

Stasiun Balapan, Solo, pada 6 April 2000, pukul 06.00. Ribuan orang menyesaki 12 gerbong yang “disewa” guna membawa mereka menuju Surabaya untuk mendukung tim sepak bola Pelita Solo yang akan menantang Persebaya Surabaya. Kereta api yang biasanya berangkat tengah malam dan tiba di Surabaya pagi hari, disesuaikan jamnya agar tiba di Surabaya mendekati jam pertandingan agar suporter tidak keleleran dan menimbulkan masalah. Selain 1naik kereta api, rombongan suporter juga naik 20 bus sewaan.

Begitulah debut Pasoepati, yang saat itu merupakan kependekan dari Pasukan Suporter Pelita Sejati, dalam tur mendukung tim Pelita Solo. Pelita sebenarnya bukan orisinal produk Solo melainkan pindahan dari Jakarta. Untuk menyambut dan mendukung Pelita, dibentuklah Pasoepati bersamaan dengan era kebangkitan suporter Indonesia. Terlebih semenjak “kematian” tim Arseto Solo tahun 1998, pencinta sepak bola di Solo seperti haus tontonan sepak bola bermutu di kotanya.

“Dalam pikiran kami, Pelita akan tetap tinggal di Solo. Jadi ketika dua tahun kemudian Pelita kembali ke Jakarta dan meninggalkan Solo, sakit dan marah hati kami saat itu,” kata Mayor Haristanto, pendiri dan presiden pertama Pasoepati, Jumat (9/4).

Menjadi fenomena

Namun, Pasoepati kadung menjadi fenomena, bukan saja karena berani memerahkan Stadion Tambaksari, Surabaya, tetapi juga karena atraksi kreatifnya dari tribune penonton setiap kali ada pertandingan Pelita Solo.

Dalam pertandingan Pelita Solo melawan Persebaya Surabaya, Pasoepati mengusung tema “From Solo with Love” dan membagikan bunga kepada aparat kemanan hingga warga yang ditemui sepanjang perjalanan jalan kaki dari Stasiun Gubeng ke Stadion Tambaksari, Surabaya.

Setelah Pelita pergi, Pasoepati mendukung Persijatim FC, klub asal luar Solo yang memilih berbasis di Solo. Ini berlangsung tiga tahun, sampai 2004 Persijatim yang selama di Solo bernama Persijatim Solo FC hengkang.

Nama Pasoepati tetap dipertahankan, hanya saja kini menjadi Pasukan Suporter Solo Sejati. Soal nama yang tetap Pasoepati, menurut Mayor, pihaknya tidak ingin melupakan sejarah bahwa nama Pasoepati-lah yang mengangkat suporter Solo di jagat suporter Tanah Air.

Dikenal setia, Pasoepati yang ingin dikenal sebagai suporter yang santun tidak terlepas dari penyakit suporter yang kerap terlibat perkelahian. Pertama, saat Pelita Solo bertanding melawan PSIM Yogyakarta. Terakhir, beberapa bulan lalu saat terjadi perselisihan dengan Bonek.

Supriyanto (27) yang bergabung dengan Pasoepati sejak 2002 mengatakan, Pasoepati sebenarnya suporter yang dewasa yang ditandai dengan sebagian besar suporter yang suka rela membeli tiket demi mendukung klubnya. “Kalau ada yang berkelahi dengan sesama temannya, sering kami teriaki ‘ndeso’,” kata Supriyanto yang bergabung dengan suku Masyarakat Kerten (Masker).

Mayor mengatakan, tahun ini menjadi tahun terburuk bagi dunia suporter di Tanah Air. Namun, menurutnya kondisi suporter ini merupakan cermin dari kondisi bangsa yang tengah sakit. “Harus ada upaya kreatif agar sepak terjang suporter sejalan dengan napas olahraga yang menjunjung sportivitas,” kata Mayor.

Artikel telah diinformasikan di http://cetak.kompas.com/

Satu tanggapan »

  1. kolomkiri berkata:

    Pasoepati tanpa batas…salam satu jiwa Aremania…

  2. PARANG(Pasoepati Karanganyar) berkata:

    FORZA PASOEPATI…FORZA PERSIS… FORZA SOLO…

Tinggalkan komentar